Banten dan Tsunami (oleh: Eko Palmadi)


Gempabumi adalah suatu akibat terjadinya pembebasan atau pelepasan energi yang menumpuk dan terkungkung di dalam kerak bumi ke permukaan. Energi yang dibebaskan itu berubah menjadi gelombang getaran atau goncangan yang kemudian dirasakan oleh manusia dan direkam oleh alat pencatat gempabumi (Seismograf). Gempabumi mempunyai karakter khusus umumnya terjadi tanpa peringatan dan terjadi secara cepat dalam hitungan waktu menit dan detik. Peristiwa gempabumi biasanya terdiri atas 3 fase yakni gempabumi awal (fore shock), gempabumi utama (main shock) dan gempabumi susulan (after shock).

Gempabumi yang terjadi di laut dapat mengakibatkan gelombang laut. Gelombang terjadi akibat adanya suatu perubahan berupa patahan dengan gerak tegak (vertikal) di dasar laut akibat gempabumi, gelombang besar akibat gempa bumi disebut Tsunami.

Kalau kita berbicara tentang tsunami maka takkan terpisahkan dengan peristiwa gempa bumi, karena tsunami hamper pasti diawali dengan terjadinya gempa bumi yang lokasi kejadiannya di laut. Yang paling anyar tsunami yang terjadi di Jepang, 11 Maret 2011 yang lalu. Gempa terjadi dengan intensitas 8,9 SR, terletak 12,8 km di lepas pantai Fukusima atau kurang lebih 380 km dari Tokyo, pada kedalaman 10 km. Gempanya sendiri tidak terlalu merusak karena Jepang telah mempersiapkan segalanya tahan gempa, namun justru tsunaminya yang banyak menimbulkan kerusakan dan korban jiwa karena terjadi dalam waktu yang singkat setelah gempa.

Di Indonesia, tsunami telah beberapa kali terjadi, diantaranya mulai dari Maumere, Aceh, Jogya, Pangandaran, dan yang terakhir terjadi di Mentawai, Sumatera Barat, gempa dengan intensitas 7,2 SR terjadi pada tanggal 25 Oktober 2010, terletak 78 km dari Mentawai. Gempa ini kemudian diikuti dengan tsunami setinggi 3 meter yang terjadi pada pukul 23.00 malam.

Bagaimana dengan wilayah Banten, apakah termasuk daerah yang aman dari tsunami ?, ternyata tidak, dalam catatan sejarah tsunami besar pernah melanda Banten, terjadi ketika Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus pada 24 Agustus tahun 1883. Akibat kejadian tersebut telah menewaskan lebih dari 40.000 orang yang sebagian besar diakibatkan oleh gelombang Tsunami bukan karena letusan gunungnya. Bagai mana dengan potensi tsunami yang diakibatkan aktivitas tektonik di wilayah Banten. Maka akan kita lihat posisi Banten dalam tatanan tektonik Indonesia.

Wilayah Indonesia secara geologi, mempunyai tatanan tektonik yang sangat kompleks, yaitu terletak diantara berbagai lempeng samudera dan lempeng benua yang aktif bergerak sepanjang waktu. Indonesia merupakan tempat pertemuan tiga lempeng dunia yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Dengan terdapatnya pertemuan ke tiga lempeng tersebut maka di wilayah Indonesia terjadi tumbukan antara lempeng benua Eurasia dengan samudera Indo-Australia dan lempeng samudra pasifik. Ditempat terjadinya tumbukan itu terdapat zona tunjaman lempeng atau disebut juga zona subduksi dimana lempeng samudra menunjam ke bawah lempeng benua Eurasia. Di sepanjang zona penunjaman tersebut pada lempeng benua terbentuk gugusan kepulauan gunung berapi atau sabuk gunung berapi (Magmatic belt) yang berderet di sepanjang Sumatera, Jawa bagian selatan menerus ke Nusa Tenggara, hingga Banda, Hamilton (1976) menyebutnya sebagai Sunda – Banda magmatic arc atau busur gunungapi Sunda - Banda. Jajaran pegunungan tersebut membentuk cincin pegunungan berapi yang mengelilingi wilayah Indonesia sehingga disebut sebagai "Ring of Fire". (Gambar 1)

TEKTONIK INDONESIA ( KATILI, 1973 )




Kondisi geologi diatas menyebabkan Indonesia, khususnya sepanjang Busur Sunda-Banda dimana Provinsi Banten merupakan bagian dari padanya, menjadi sangat rentan terhadap bencana alam berupa gempa bumi dan tsunami, termasuk letusan gunung api.


Di wilayah Banten zona tunjaman atau subduksi terdapat di sepanjang Banten bagian selatan di daerah Samudra Indonesia. Pergerakan lempeng pada zona subdaksi ini menurut data rata-rata 7,5 mm/tahun. Gempa bumi biasanya bersumber dari terjadinya pergeseran atau pelepasan energi pada zona subduksi ini seperti pada peristiwa gempa Aceh, Jogjakarta, Tasikmalaya, Nias dan Mentawai yang banyak memakan korban.

Kesimpulannya adalah bahwa Wilayah Banten berpotensi terpapar tsunami yang diakibatkan oleh adanya letusan gunungberapi yaitu gunung Krakatau atau diakibatkan adanya akibat aktivitas tektonik yang menyebabkan gempa bumi.

Daerah yang rawan terpapar oleh Tsunami akibat oleh letusan Gunung Krakatau adalah sebagian pantai Utara di Kabupaten Serang, sepanjang pantai Barat dari mulai daerah Bojonagara, hingga Anyer di Kota Cilegon dan Kabupaten Serang. Seluruh pantai barat dan utara Kabupaten Pandeglang. Perhatian secara kusus perlu diberikan untuk wilayah pantai barat Banten yaitu sepanjang pantai Cilegon hingga Anyer, karena sepanjang pantai itu terdapat lokasi industri kimia sehingga memerluakan penanganan secara khusus.
Di bawah ini adalah Peta Tsunami akibat letusan Krakatau Tahun 1883, menggambarkan daerah-daerah di Banten dan Lampung, yang terkena gelombang dan ketinggian gelombang tsunaminya yang menerpa.


Daerah yang rawan terpapar tsunami akibat adanya gempa bumi adalah sepanjang pantai selatan Banten karena di bagian selatan Banten ini terdapat zona subduksi sebagai tempat pertemuan lempeng samudra Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia sebagai sumber terjadinya gempa bumi. Daerah tersebut memanjang dari daerah Ujungkulon hingga perbatasan dengan Pelabuhanratu di Sukabumi. Penanganan tsunami didaerah ini tentu akan berbeda dengan di daerah pantai barat Banten karena di daerah ini tidak terdapat industri kimia, dimana umumnya daerah perkampungan di tepi pantai. Sehingga pemerintah perlu membuat skenario yang berbeda seperti ketika pemerintah Jepang menghadapi masalah pencemaran radioaktif PLTN setelah peristiwa gempa dan tsunami.

Pada intinya masyarakat perlu secara terus menerus mendapatkan penjelasan, sosialisasi pendidikan mengenai gempa dan tsunami baik kepada masyarakat langsung maupun kepada pelajar disekolah. Masyarakat perlu tau bila terjadi gempa akan secara otomatis melakukan tindakan penyelamatan bagi dirinya seperti berlindung dibawah meja, menjauhi dinding, jangan dekat kaca dan lindungi kepala. Kemudian juga diajarkan membaca gejala-gejala alam terutama di pantai bila setelah terjadi gempa, seperti bila setelah gempa pantai surut tiba-tiba maka akan terjadi tsunami sehingga harus mencari tempat yang tinggi untuk menghindari pantai. Untuk itu pemerintah juga perlu menyediakan sarana penunjang seperti tanda-tanda penunjuk arah untuk evakuasi termasuk jalan yang harus dilalui, menyediakan lokasi yang tinggi menjauhi pantai, alarem atau sirene dsb. Dalam jangka panjang pemerintah perlu juga mengatur tata ruang wilayah yang berbasis geologi, membangun infrastruktur wilayah pesisir yg berhubungan dengan antisipasi tsunami seperti penanaman bakau atau jalur hijau di pantai sebagai penahan gelombang, mensyaratkan bangunan tahan gempa dalam pengeluaran ijin-ijin bangunan baru.

Pada intinya bahwa bencana seperti gempabumi maupun tsunami belum dapat diramalkan hingga saat ini. Teknologi yang ada belum dapat meramalkan kapan terjadi bencana. Yang dapat dilakukan adalah bagaimana mampersiapkan bila sewaktu-waktu bencana terjadi sehingga dapat meminimalisir akibat yang terjadi.

No comments:

Post a Comment